Loading...
Loading...
Johnny Beahan PhD
Staff Writer
2 minutes read

SANGGABUANA — Belum lama ini, tim konservasi alam berhasil merekam penampakan macan tutul dewasa bersama dua anaknya di kawasan hutan Pegunungan Sanggabuana, Karawang. Bukti foto dari kamera trap menunjukkan satu anak berkorak normal dan satu berpigmen hitam pekat — sebuah fenomena yang menarik perhatian para peneliti.
Menurut pengelola lapangan, perbedaan warna ini bukanlah tanda dua spesies berbeda, melainkan akibat mutasi genetik yang disebut melanisme. Macan tutul melanistik alias “macan kumbang” hanya berbeda dari macan tutul biasa pada pigmen bulu, sedangkan secara genetik mereka tetap satu spesies. Kombinasi pewarisan gen dari induk normal dan induk melanistik memungkinkan munculnya anak dengan warna berbeda — sebagaimana yang tertangkap kamera. detikcom+1
Spesies macan tutul, dengan nama ilmiah Panthera pardus, terkenal dengan bulu kekuningan sampai emas kemerahan berhias bintik gelap berbentuk “roset” — pola yang sekaligus menyiratkan keindahan dan kamuflase alamiah mereka.Wikipedia+1 Tubuhnya ramping dan tangkas, dengan panjang tubuh antara sekitar 92–183 cm, ditambah ekor sepanjang 66–102 cm, serta tinggi bahu 60–70 cm. Bobot jantan bisa mencapai 30,9–72 kg, sedangkan betina berkisar 20,5–43 kg.Wikipedia
Meski demikian, status konservasi macan tutul — terutama subspesies lokal seperti Macan Tutul Jawa — sangat rentan. Macan Tutul Jawa bahkan dikategorikan “terancam punah” oleh lembaga konservasi global, karena habitatnya yang makin terfragmentasi dan jumlah populasinya yang terus menyusut.Wikipedia+1 Fakta penampakan di Sanggabuana menjadi sinyal penting bahwa meskipun terdesak, keberadaan macan tutul masih dapat ditemukan — asalkan habitatnya dijaga dan upaya konservasinya dilakukan dengan serius.
Para ahli lingkungan menilai momen ini sebagai “harapan” bagi upaya pelestarian. Warna berbeda pada keturunan macan tutul menunjukkan betapa pentingnya variasi genetik bagi kelangsungan hidup spesies. Tetapi, mereka juga mengingatkan bahwa tanpa perlindungan habitat, fragmentasi, dan konflik manusia-satwa, populasi macan tutul bisa semakin tertekan. Inisiatif kolaboratif antara pemerintah, lembaga non‑pemerintah, dan masyarakat lokal dianggap kunci untuk menjaga masa depan “majestas hutan tropis” ini — agar generasi penerus tetap bisa menyaksikan keindahan macan tutul di alam liar.